Gelas Pemikiran Kant
Salah satu filsuf yang pemikirannya paling mindblowing dan membekas di kepala saya adalah Immanuel Kant. Dalam tulisan ini, kita tidak akan membahas arti hukum menurut Immanuel Kant. Ada gagasannya yang lain yang bagi saya lebih esensial, menyangkut pemikiran manusia. Lagi-lagi saya tahu hal ini dari Alberto Knox — guru filsafat Sophie dalam novel Dunia Sophie oleh Jostein Gaarder. Saya sampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Bapak Knox.
Oke, pertama-tama, saya perlu menyampaikan bahwa filosofi sebelum Kant selalu memperdebatkan sumber pengetahuan manusia tentang dunia. Para filsuf terbagi menjadi dua kubu. Kelompok pertama adalah filsuf rasionalis yang berpendapat bahwa seluruh konsep tentang dunia ada di dalam akal. Sedangkan filsuf empiris meyakini bahwa pengetahuan akan dunia datang dari apa yang didapat manusia melalui indra.
Di sinilah peran Kant yang menengahi dua pendapat di atas. Saya melihat Kant sebagai umathan wasathan atau kaum pertengahan. Kant percaya bahwa indra dan akal sama-sama berperan dalam membentuk konsepsi mengenai dunia. Seluruh pengetahuan berasal dari indra, tapi dalam akal juga terdapat faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia di sekitar kita. Contoh yang paling mudah dipahami adalah ketika kita memakai kacamata hitam, maka apa yang kita lihat semua menjadi lebih gelap. Kacamata ini yang membatasi kita untuk melihat realitas yang sesungguhnya.
Menurut Kant, ada kondisi tertentu yang mengatur cara kerja pikiran sehingga berpengaruh pada sudut pandang kita terhadap dunia. Kondisi ini berupa intuisi dalam waktu dan ruang yang terbentuk sebelum muncul pengalaman. Saya coba gambarkan hal ini dengan pengalaman saya yang berencana hiking ke Gunung Semeru misalnya. Sehari sebelumnya, saya sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi besok, keadaan saat di kereta, wajah teman-teman seperjalanan, suasana camping di tepi Ranu Kumbolo, lelahnya pendakian, dan sebagainya. Bayangan ini adalah intuisi dalam waktu dan ruang yang disebut Kant itu tadi. Bayangan ini muncul sebelum saya benar-benar mengalami pendakian saya ke Semeru di keesokan harinya.
Informasi, pengetahuan, dan persepsi yang kita tangkap dari indra melalui pengalaman, kemudian menyesuaikan dengan bentuk intuisi di dalam pikiran kita, seperti air yang dituangkan ke dalam gelas mengikuti bentuk gelas tersebut. Mungkin kita sudah familier dengan konsep bahwa — pikiran, sifat, dan perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan. Namun, seperti kacamata hitam — segala sesuatu yang kita terima ternyata juga akan membentuk dirinya dengan intuisi yang sudah terlebih dahulu ada di dalam pikiran. Hal ini serupa dengan teori geosentris yang dibantah Copernicus. Bukan matahari yang mengelilingi bumi, tapi bumilah yang mengelilingi matahari. Bukan hanya pikiran yang menyesuaikan diri dengan segala sesuatu, tetapi segala sesuatu juga akan menyesuaikan diri dengan pikiran.
Oleh karena itu, menurut saya sangat penting untuk selalu mengatur mindset saat kita mengawali hari, karena mindset ini akan berpengaruh besar terhadap pandangan kita tentang apa yang akan terjadi di hari itu. Mindset ini dapat dikatakan sebagai intuisi, yang mendahului pengalaman. Walaupun hari itu belum kita lalui (belum adanya pengalaman), tetapi sudah ada intuisi yang terbentuk di pikiran. Hal-hal yang kita alami nantinya akan mengikuti bentuk intuisi ini. Kalau mood atau mindset kita di pagi hari saja sudah berantakan, maka kemungkinan besar akan kacau juga perasaan dan pikiran kita di sepanjang hari.
Sebagai efek dari gelas pemikiran ini, Kant melihat adanya garis batas yang tegas di antara benda-benda di dunia. Jika kita melihat sesuatu, sebenarnya persepsi akan sesuatu tersebut sudah dipengaruhi oleh pemikiran kita, maka kita tidak pernah tahu bagaimana sejatinya sesuatu itu sendiri. Kita tahunya hanya bagaimana sesuatu itu bagiku — yang tampak bagi kita, “das Ding an Sich (The Thing in Itself)” yang berarti benda-benda adalah sebagaimana ia dalam dirinya. Hal ini mengisyaratkan bahwa, semua pendapat yang disampaikan semua orang bisa jadi benar, karena orang melihat sesuatu dengan kacamatanya masing-masing yang tidak pernah kita alami. Tetapi bisa disimpulkan juga bahwa, semua pendapat yang disampaikan semua orang bisa jadi salah. Karena orang melihat sesuatu dengan kacamatanya sendiri, maka tidak ada yang paling tahu apa yang paling benar pada sesuatu itu. Sebuah tamparan keras bagi saya yang masih sering terlalu mudah menge-judge pendapat orang yang bertentangan dengan saya.
Manusia terkadang selalu penasaran akan sebab-sebab segala sesuatu, karena kita terikat hukum kausalitas (sebab-akibat). Jika tiba-tiba kita melihat ada bola menggelinding di depan kita, maka yang pertama kita pikirkan tentu adalah dari mana asalnya bola tersebut? Mengapa tiba-tiba menggelinding? Hingga sampailah pada pertanyaan, dari mana asalnya ‘semua ini’? Mengapa ada manusia di dunia? Pemikiran tersebut kemudian memunculkan gagasan Kant terhadap konsep realitas.
Para filsuf telah menyampaikan berbagai teori terhadap asal mula ‘semua ini’, salah satunya adalah gagasan Plato yang digambarkan sebagai Mitos Manusia Gua yang bisa dibaca pada tulisan saya sebelumnya. Bagi Kant, manusia hanyalah bagian yang sangat kecil dari sesuatu yang sangat besar. Gagasan para filsuf akan sesuatu yang sangat besar tersebut tidak bisa dijadikan pegangan, karena itu hanyalah bentuk persepsi mereka dari pengalamannya sendiri. Sehingga kesimpulannya, tidak ada pendapat yang paling benar tentang asal mula dunia. Maka dari itu, ada iman kepada Tuhan. Sampai di sini saya cukup dikejutkan dengan lincahnya Kant dalam mengutarakan gagasannya. Ia memulai dengan hal-hal yang kritis di awal dan menyelundupkan pemaknaan penting tentang Tuhan sebagai penutup.
Pada akhirnya yang dapat saya refleksikan dari gagasan Kant adalah, bahwa kita hanya dapat melihat dunia dari kacamata kita sebagai manusia. Tidak ada manusia yang mengalami realitas yang sejati, sehingga mustahil jika kita berharap dapat memahami alam raya. Otak kita tidak sampai untuk memikirkan alam semesta, karena memang sepertinya tidak didesain untuk berpikir sejauh itu. Bagi saya sebagai orang Islam, hanya Allah-lah yang menjadi satu-satunya sumber pemahaman tentang alam semesta. Karena Allah tahu manusia selalu mempertanyakan sebab, maka disampaikanlah jawaban-jawaban itu melalui Al-Quran. Penjelasan tentang tahapan Allah menciptakan alam semesta, tujuan manusia diciptakan di dunia, dan sebagainya sudah ada di dalam Al-Quran. Karena gelas pemikiran manusia terlalu kecil untuk menampung pengetahuan tentang realitas yang sebenarnya, maka sebaiknya cukupkanlah pemahaman kita hanya dari Allah saja.