Mitos Manusia Gua Plato

Dianisti Saraswati
3 min readMar 5, 2022

--

Photo by Bradley Dunn on Unsplash

Plato adalah salah satu filsuf Yunani yang mungkin namanya sudah sering kita dengar, pada saat belajar PPKn misalnya. Siapa yang masih ingat bentuk-bentuk pemerintahan menurut Plato?

Para filsuf seperti Plato, melihat berbagai fenomena yang terjadi di alam dan menyusun gagasan-gagasannya sendiri. Gagasan-gagasan itu sebagian besar masih relevan dan masih menjadi rujukan sampai saat ini, meskipun masa hidup Plato sudah berlalu 2500 tahun yang lalu.

Ada satu gagasan Plato yang sangat menarik menurut saya, yang saya ketahui dari Alberto Knox — guru filsafat Sophie dalam novel Dunia Sophie oleh Jostein Gaarder. Sebenarnya ini adalah ajaran Socrates, gurunya Plato. Namun, sedikit sekali dokumentasi dan tulisan dari Socrates, sehingga Plato banyak menulis pelajaran yang diperoleh dari gurunya itu.

Plato percaya bahwa semua fenomena alam itu hanyalah bayang-bayang dari bentuk ide yang ideal dan kekal. Menurutnya, dunia tempat kita hidup sekarang ini cuma bayangan dari suatu dunia lain yang kekal dan ideal di suatu tempat. Plato menganalogikan dengan sebuah mitos di dalam gua. Mitosnya begini, coba bayangkan ada sekelompok orang yang sepanjang hidupnya tinggal di gua di dalam tanah. Mereka hanya dapat melihat dunia luar dari bayangan-bayangan yang memantul di dinding gua. Misalnya ada bayangan pohon, mereka mengira wujud pohon adalah seperti yang mereka lihat itu saja, karena hanya bayang-bayang itulah yang ada.

Suatu saat, ada salah satu manusia gua yang berpikir, dari mana asalnya semua gambar-gambar di dinding ini? Dia akan berusaha membebaskan dirinya dari gua, memanjat sampai ke mulut gua, dan melihat wujud dunia yang sebenarnya. Dia akan silau dengan matahari yang baru pertama kali dilihatnya. Barulah dia tahu bahwa pohon yang tampak di dinding gua ternyata berwujud jauh berbeda dengan yang aslinya.

Dia kembali ke gua dan menyampaikan semuanya ke manusia gua yang lain, termasuk tentang bentuk pohon yang sebenarnya. Tetapi, tidak ada yang percaya. Mereka menunjuk ke dinding gua dan mengatakan bahwa itulah pohon yang sebenarnya. Akhirnya orang itu dibunuh. Orang itu adalah Socrates. Di akhir hidupnya ia dibunuh karena menyampaikan hal yang bertentangan dengan gagasan konvensional pada masa itu.

Jika kita tarik ke masa sekarang, sebenarnya konsep dunia adalah bayang-bayang, dunia fana, dunia sementara sudah menjadi hal yang umum. Orang Jawa mengenal pepatah urip iku mung sawang sinawang, apa yang tampak tidak seperti yang sesungguhnya. Namanya juga bayang-bayang, ada sesuatu yang membentuk bayang-bayang itu yang lebih jelas dan abadi. Semua agama sepertinya juga percaya bahwa akan ada kehidupan yang kekal setelah dunia ini. Saya pribadi sebagai orang Islam juga meyakini bahwa dunia ide yang kekal dan ideal itu adalah alam akhirat.

Sayang sekali, kita manusia sepertinya mudah puas dengan segala sesuatu di dunia. Eh tapi, jangan lupakan juga falsafah wayang. Kalau ada yang sudah pernah menonton pagelaran wayang, dalang akan memainkan wayang dibalik kelir (layar) yang memantulkan bayangan tokoh-tokoh wayang dari cahaya lampu yang digantung di tengah kelir. Jadi, walaupun hanya bayangan tetapi sudah bisa kita nikmati ceritanya. Oleh karena itu, kita juga harus tetap bisa menikmati dunia. Makanya harus belajar dan bekerja dengan tetap menjadikan alam akhirat, atau dunia ide yang disebut Plato tadi sebagai tujuan akhir kita.

Tidak ada yang tahu sejelas apa dan seabadi apa dunia ide itu, karena seumur hidup kita hanya hidup di dunia bayang-bayang ini. Tapi, kita bisa mengetahui perumpamaan alam akhirat sebagaimana yang Allah sampaikan di Al-Quran dan dari hadis Nabi Muhammad. Misalnya, Allah menggambarkan surga itu seluas langit dan bumi, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Ada sungai madu, sungai susu, ada juga pohon yang tidak pernah habis buahnya. Hanya Allah yang bisa menjelaskan gambaran mengenai surga dan alam akhirat karena Dialah penciptanya, dan disampaikan dengan menyebutkan hal-hal yang bisa kita lihat di dunia yang sekarang. Tentu saja hal semacam itu hanya perumpamaan dan aslinya pasti jauh lebih “menyilaukan”, mungkin kelak kita akan seperti manusia gua yang baru melihat matahari untuk pertama kalinya.

Kalau saja Plato dan Socrates hidup sezaman dengan Nabi Muhammad bisa jadi mereka akan mualaf karena pemikiran-pemikiran mereka yang menurutku Islami sekali.

Jadi, kata siapa belajar filsafat malah bikin jadi ateis?

--

--

No responses yet