Nimby Syndrome dan Pengaruhnya terhadap Operasional Bank Sampah
Manusia terlahir sebagai makhluk egois. Dalam bukunya The Selfish Gene, Richard Dawkins mengatakan sifat egois manusia berasal dari kelakuan gen-gen penyusunnya yang juga egois. Secara singkat, gen egois merupakan konsep yang menyatakan upaya gen dalam membela kepentingan pribadinya. Hal inilah yang kemudian memunculkan sifat manusia yang cenderung untuk menginginkan hal-hal yang hanya menguntungkan dan menyenangkan dirinya saja. Salah satunya yakni sindrom nimby yang muncul dari egoisme alamiah manusia tersebut.
NIMBY merupakan singkatan dari istilah Bahasa Inggris “not in my backyard”, yang dapat didefinisikan sebagai sebuah anggapan suatu kalangan masyarakat yang menolak adanya fasilitas atau hal tertentu yang berada di lingkungannya, karena dikhawatirkan dapat memberikan dampak negatif. Menurut Driscoll pada penelitiannya tahun 2013, sindrom ini berkaitan dengan penolakan terhadap keberadaan fasilitas umum yang mencakup fasilitas yang berpotensi menimbulkan kejahatan sosial (tempat penampungan gelandangan, penjara, fasilitas kesehatan mental), fasilitas yang berpotensi mengurangi estetika lingkungan (turbin angin, bandara, menara ponsel), dan yang paling banyak yakni pada kasus penolakan terhadap fasilitas pengelolaan sampah yang berpotensi menurunkan kualitas lingkungan (landfill, bank sampah, insinerator limbah).
Hal ini menarik untuk dibahas, karena ternyata tingkat sindrom nimby muncul dari budaya dan paradigma tertentu yang berkembang di suatu wilayah secara alamiah yang dapat memengaruhi kinerja dari fasilitas pengelolaan sampah di wilayah tersebut, dalam hal ini yakni bank sampah. Jika berbicara tentang bank sampah, maka tidak bisa lepas dari faktor ekonomi yang merupakan aspek penting dalam operasional bank sampah. Aspek ekonomi ini juga tidak dapat dipungkiri, menjadi daya tarik tersendiri untuk sebagian besar masyarakat sehingga berminat menjadi nasabah bank sampah. Sehingga, secara tidak langsung, tingkat sindrom nimby di suatu wilayah akan memengaruhi aspek ekonomi dalam operasional bank sampah di wilayah tersebut.
Pada tulisan ini, saya akan membahas nilai ekonomis sampah dalam operasional bank sampah dapat memengaruhi timbulan sampah dan tingkat sindrom nimby pada masyarakat. Menurut saya, terdapat benang merah yang menghubungkan antara aspek-aspek di atas. Antara sindrom nimby, budaya dan paradigma pengelolaan sampah, dan penerapan bank sampah serta aspek ekonominya, terdapat hubungan keterkaitan yang saling memengaruhi sehingga membentuk siklus. Pada akhirnya, jika benang merah tersebut dapat dianalisis pengaruhnya satu sama lain, maka akan diketahui strategi yang dapat diterapkan guna mencapai win win solution untuk mengatasi permasalahan pengelolaan sampah di Indonesia.
Pengelolaan Sampah di Indonesia secara Umum
Pengelolaan sampah merupakan rangkaian sistem yang kompleks yang melibatkan banyak pihak dan membutuhkan kerja sama yang kompak. Sayangnya, masyarakat sebagai penghasil sampah dan pemerintah yang dianggap bertanggung jawab untuk mengelola sampah, sampai saat ini kurang terkoordinasi dengan baik. Masyarakat kebanyakan mengandalkan pemerintah untuk mengelola sampahnya dengan menerapkan metode kumpul-angkut-buang. Sampah yang dihasilkan dari sumber, akan dikumpulkan petugas ke tempat penampungan sementara (TPS) untuk selanjutnya diangkut ke TPA. TPA yang merupakan kependekan dari tempat pemrosesan akhir mengalami pergeseran makna menjadi tempat pembuangan akhir. Selain itu, masih banyak pula masyarakat Indonesia yang menangani sampahnya dengan cara dibakar dan dikubur, karena dirasa paling praktis . Tentu saja cara tersebut bukan merupakan cara yang bijak dalam menangani sampah. Dengan demikian, perlu adanya perubahan paradigma yang mendasar dalam pengelolaan sampah dengan cara yang lebih efisien. Kesadaran dan kepedulian semua pihak merupakan kunci utama dalam perubahan paradigma ini.
Pada tahun 2018, saya melakukan wawancara bersama dosen saya Prof. Enri Damanhuri. Beliau menyatakan bahwa telah banyak ditemukan teknologi untuk mengolah sampah, namun masyarakat harus dibiasakan terlebih dahulu untuk menerapkan budaya yang lebih ‘menghargai’ sampah dan bagaimana memperlakukannya dengan lebih baik. Menurut Trina (2013), masyarakat harus meninggalkan cara lama yang hanya membuang sampah, dengan mendidik dan membiasakan masyarakat memilah, memilih, dan menghargai sampah sekaligus mengembangkan ekonomi kerakyatan melalui pengembangan bank sampah.
Budaya inilah yang sulit diubah. Citra tentang sampah yang kotor dan bau telah diwariskan turun-temurun oleh keluarga di Indonesia. Maka metode pengelolaan sampah yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat Indonesia bukan datang dari penerapan teknologi tertentu melainkan dengan penerapan bank sampah. Bank sampah merupakan metode yang sudah paling tepat untuk masyarakat Indonesia, yang aplikasinya paling sederhana dan telah sesuai dengan kondisi serta karakteristik masyarakat.
Penerapan Bank Sampah
Bank sampah adalah konsep pengumpulan sampah kering dan terpilah yang memiliki manajemen layaknya perbankan, tetapi yang ditabung bukan uang melainkan sampah. Bank sampah dapat mengajarkan masyarakat untuk memilah sampah serta menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam pengolahan sampah (Asteria dan Heruman, 2016). Pengembangan bank sampah ini akan membantu pemerintah lokal dalam pemberdayaan masyarakat untuk mengelola sampah berbasis komunitas secara bijak serta dapat mengurangi timbulan sampah yang harus diangkut ke TPA (Purba, 2014). Mekanisme kinerjanya, mula-mula bank sampah bekerja sama dengan pengepul akan menentukan jenis-jenis sampah yang diterima dan harga jualnya masing-masing. Nasabah menyetorkan sampah ke bank untuk ditimbang dan ditukar dengan sejumlah saldo yang dicatatkan pada buku tabungan sesuai dengan banyaknya dan jenis sampah yang disetor.
Terdapat berbagai faktor yang memengaruhi harga jual sampah. Menurut Prof. Damanhuri, faktor utama yang memengaruhi fluktuasi harga rongsokan atau sampah daur ulang sebagai bahan baku dari pabrik adalah permintaan konsumen akan barang olahan pabrik tersebut. Jika permintaan konsumen sedang tinggi, pabrik memerlukan banyak rongsokan untuk diolah menjadi bahan baku, sehingga harga rongsokan bisa naik. Sebaliknya, jika permintaan konsumen turun, pabrik tidak memerlukan banyak rongsokan, sehingga harga turun. Bila kegiatan pembangunan ekonomi menurun seperti pada masa pandemi saat ini, maka produksi, pendapatan, tabungan, dan investasi akan turun. Kegiatan perusahaan berkurang dan arus barang serta jasa juga berkurang. Hal ini akan menyebabkan kegiatan perdagangan menurun, termasuk kegiatan perdagangan sampah daur ulang. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bank Sampah Bumi Inspirasi, Cisitu Indah, Bandung, selain dipengaruhi oleh permintaan pabrik, fluktuasi harga jual sampah juga dipengaruhi oleh level atau besar kecilnya pengepul dan kegiatan impor sampah yang masuk ke wilayah Indonesia. Dengan demikian, harga dipengaruhi juga dengan nilai tukar rupiah.
Hubungan Antar Aspek
Berdasarkan hasil penelitian Fikriyyah pada tahun 2018 di Bogor, kegiatan transaksi dan kegiatan non transaksi bank sampah dapat berpengaruh signifikan terhadap peningkatan perilaku pengelolaan sampah rumah tangga, yang berfokus pada aspek kognitif, afeksi dan penerapan pengelolaan sampah. Kesimpulannya, operasional bank sampah dapat memengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat dalam pengelolaan sampah, tingkat penghargaan masyarakat terhadap sampah serta mempengaruhi perubahan perilaku pengelolaan sampah mandiri oleh responden secara signifikan. Naiknya tingkat penghargaan masyarakat terhadap sampah dapat menjadi salah satu indikator dari menurunnya sindrom nimby pada masyarakat.Dari hasil penelitian yang sama, operasional bank sampah juga dapat mengurangi timbulan sampah sampai dengan 7–20%.
Tingkat partisipasi masyarakat yang meningkat dengan menjadi nasabah bank sampah akan meningkatkan kinerja dan pendapatan bank sampah dan meningkatkan nilai ekonomis sampah. Hal ini dapat menjadi indikator menurunnya sindrom nimby pada masyarakat. Karena citra sampah yang dipandang memiliki nilai ekonomis, masyarakat menjadi tertarik untuk menyetorkan sampahnya ke bank sampah. Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat hubungan timbal balik yang saling memengaruhi antara aspek-aspek tersebut. Namun, apa yang terjadi saat ini sayangnya bukan dalam kondisi ideal seperti yang dijabarkan oleh diagram alir pada gambar sebagai berikut.
Pada gambar tersebut, antar aspek dihubungkan dengan panah bolak-balik yang menyatakan hubungan saling memengaruhi. Maka demikian, untuk mengurangi sindrom nimby dan mengubah pengelolaan sampah diperlukan inisiatif peningkatan dari salah satu aspek terlebih dahulu agar terlepas dari lingkaran setan pada diagram.
Memang tingkat sindrom nimby dalam hal ini khususnya terhadap keberadaan bank sampah bisa saja dipengaruhi oleh aspek-aspek lain. Namun demikian, aspek diatas merupakan aspek utama yang terhubung pada suatu benang merah, yang paling berpengaruh terhadap tingkat sindrom nimby berdasarkan apa yang sudah dipaparkan pada paragraf sebelumnya. Untuk membalikkan keadaan, kondisi ini memerlukan inisiatif dari salah satu aspek, sehingga dapat terbebas dari lingkaran setan tersebut.
Seperti yang telah saya sampaikan pada pernyataan di awal pembahasan bahwa, pengelolaan sampah merupakan rangkaian sistem yang kompleks yang melibatkan banyak pihak dan membutuhkan kerja sama yang kompak. Selanjutnya, ditemukan aspek-aspek utama yang saling memengaruhi dalam kasus sindrom nimby terhadap bank sampah ini. Sebagai masyarakat yang menjadi sumber sampah, kita dapat berkontribusi dalam meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah, atau mulai menginisiasi berdirinya bank sampah di wilayah tempat tinggal masing-masing. Selanjutnya melakukan upaya pengurangan timbulan, meningkatkan nilai ekonomis dan secara bertahap akan dapat mampu menurunkan tingkat sindrom nimby di masyarakat.