Dampak Buang-buang Makanan

Dianisti Saraswati
3 min readMay 20, 2022

--

Photo by Paul Schellekens on Unsplash

Membuang sisa makanan menjadi kegiatan yang sering kita lakukan, entah karena rasa masakan yang kurang nikmat, sudah terlalu kenyang, kondisi makanan yang dingin, sedang menjalani diet atau karena memang makanannya sudah tidak layak dikonsumsi. Meski terdengar wajar dilakukan, namun mirisnya ternyata masih banyak penduduk Indonesia dan dunia yang sakit bahkan meninggal dunia karena kelaparan.

Sebagian besar sampah makanan (food wastage) berasal dari sisa makanan yang tidak dikonsumsi oleh masyarakat. Namun, sampah makanan tidak hanya dari sampah sisa makanan yang dibuang oleh konsumen (food waste), tetapi juga termasuk makanan atau bahan makanan yang terbuang karena adanya masalah pada saat pemanenan, penyimpanan, pengepakan, transportasi dan distribusi, pengolahan atau mekanisme penjualan. Makanan yang terbuang ini disebut sebagai kehilangan makanan (food loss).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 (Brigita dan Rahardyan, 2013), timbulan sampah makanan daerah komersial di Kota Bandung yaitu 0.23–2 L/orang/hari. Sedangkan menurut data dari FAO, diperkirakan 1.3 miliar ton makanan, atau sekitar 30% dari produksi makanan di seluruh dunia, hilang atau dibuang setiap tahun. Jumlah tersebut setara dengan jumlah makanan yang dapat kita berikan kepada 800 juta penduduk dunia yang kelaparan setiap tahunnya.

Kebiasaan tidak menghabiskan makanan ini, ternyata berpengaruh terhadap lingkungan. Setelah masuk ke tempat pembuangan sampah, sisa makanan akan membusuk dan menghasilkan gas rumah kaca berupa karbon dioksida serta metana yang dapat dihitung sebagai jejak karbon. Jejak karbon adalah jumlah emisi gas rumah kaca yang diproduksi oleh suatu organisasi, peristiwa, produk atau individu. Emisi karbon dari makanan selain dari proses pembusukan makanan yang tidak habis, dapat juga berasal dari kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan, pabrik pengolahan makanan, serta proses transportasi dan distribusi. Jika jejak karbon ini ditotalkan, maka makanan yang tidak termakan mengemisikan sepertiga jejak karbon dari seluruh dunia yaitu sebesar 3.3 miliar ton CO2 ekuivalen. Oleh karena itu, dengan menyisakan makanan di piring, maka kita juga berkontribusi menambah emisi karbon dioksida penyebab pemanasan global.

Selain membuang uang, membuang makanan juga berarti membuang sejumlah besar penggunaan sumber daya alam yang digunakan untuk memproduksi makanan yang pada akhirnya tidak termakan ini. Air bersih yang telah dihabiskan dalam proses produksi adalah sebesar 250 km3 — hampir sama dengan volume air di Danau Toba. Sedangkan lahan pertanian yang digunakan adalah seluas 1,4 miliar hektar. Secara tidak langsung, hal tersebut berakibat pada biodiversitas makhluk hidup, dimana untuk membuka lahan seluas itu tentunya ada hutan atau habitat tertentu yang dikorbankan. Jika dihitung dari biaya produksinya, sampah makanan telah menghabiskan dana sekitar 10 triliun rupiah.

Dari data tersebut, dapat diketahui bahwa ternyata tidak sedikit jumlah sumber daya alam yang disia-siakan untuk memproduksi makanan yang pada akhirnya akan berakhir di tempat sampah. Besarnya sumber daya alam itu juga dapat diartikan sebagai jumlah sumber daya alam yang dapat dihemat jika seluruh manusia di bumi ini menghabiskan makanannya. Apalagi jika ditambah dengan banyaknya emisi gas rumah kaca, maka semakin memperjelas bahwa dengan membuang makanan sama saja dengan memperburuk kondisi lingkungan saat ini.

Mereduksi sampah makanan adalah tanggung jawab setiap penduduk dunia. Dengan menghabiskan satu butir nasi yang tersisa di piring saat makan, berarti kita benar-benar menggunakan sumber daya alam sebaik mungkin dan tidak menyia-nyiakannya. Mungkin sebagian orang berpendapat bahwa mereka punya uang untuk membeli sebanyak apa pun makanan yang diinginkan. Uang memang milik kita, namun sumber daya adalah milik bersama.

--

--

No responses yet